aku selalu tersesat
pada pertanyaan terakhirmu
sebelum kau tutup telepon
“aku melihatmu di cahaya bulan.”
seakan berdesir jemari malam pada pundakku
saat suaramu terbawa oleh
retak jarum jam pukul satu
“kita sudah cukup picisan.” jawabku
lalu kau tertawa kecil di ujung sana
seperti seremonia yang pasti kurindukan lagi
esok atau entah kapan
“coba kau ingat-ingat senja tadi,
adakah yang kau lupakan
sebelum kita berpisah di gerbang depan?
seperti ciuman,
barangkali…”
selalu, aku seperti disusupi pertanyaan
layaknya seorang pejalan malam yang istirah
di tepi pohon yang mengembangkan bunga pertamanya
“entahlah. aku hanya ingat
kita duduk di stasiun Cirahayu,
menggubah kenangan
bersama seratus ribu lempengan senja.
lalu kau nyanyikan lagu-lagu magis
tentang cinta yang sebenarnya
cuma bisa kita khayalkan.”
(entahlah.. aku suka sekali puisi Sungging Raga ini)