Jumat, 28 Maret 2014

mantra

Aku telah membuka hari ini seperti hari-hari kemarin. Ritual pagi yang kulakoni kudahului dengan malam yang sendiri. Ah, apa maksudnya. Nostalgia masa sekolah yang sangat Berjaya. Entah Berjaya karena aku sering memecahkan kode-kode "morse" atau karena sesuatu yang aku tidak pernah tahu ada apa dibalik angka dan variabel-variabel lucu itu.

Merasa bersyukur aku selamat dari banyak dusta di dunia. Hingga usia dewasa mengantarkan aku pada zaman ini. Zaman edan.

Aku semakin takut dengan kesendirianku, yang ternyata aku tidak sendiri. Ada aku yang lain. Yang sering membuat orang senang, atau diri sendiri senang, tapi tidak mampu membuat kesendirianku menjadi senang. Ah, apa pula itu senang.

Hingga akhirnya aku putuskan untuk membuat dunia sendiri di kamar ini. Mungkin berdua, bertiga dengan aku yang lain. Kalau kekasihku datang, aku berikan “aku “ yang paling baik, meski ia telah mengenal “aku “ yang lain.

Pernah kekasihkan tersesat atas sederetan pertanyaan”ku” yang bodoh. Satu pertanyaan di awal dia mampu menjawab, pertanyaan kedua dia jawab, entah pertanyaan keberapa saat itu ia sungguh tak lagi menjawab. “Ah, apa-apaan sih,” katanya. Dan “aku” tersenyum puas.

Aku merasa sehat hari ini, tapi ada “aku” yang tidak sehat. Lalu ku seduh segelas kopi siang ini, berharap “ia” akan membaik. Tapi tidak, “ia” semakin gila.

Tapi ketika bersama anakku, aku tidak menjadi siapa-siapa. Aku adalah aku. Utuh. Mungkin karena dia selalu mengucapkan mantra, “ibu!”, dengan kuat. Sampai aku ingat bahwa aku harus rindu, aku harus rindu jikalau sedang tidur maka dia akan meneriakkan mantra itu lagi, ‘Ibu!’. Lalu aku akan selalu menjadi aku, meski sangat sangat lelah.

Bersamanya aku tidak pernah tersesat. Kalau pun tersesat maka aku akan tahu jalan pulangnya.
Sedang “aku” yang lain saat ini mulai menjelma menjadi bayang-bayang hitam, yang sering membawaku terbang ke alam liar, membuat aku yang selalu duduk di meja belajar ini benar-benar tersesat.

Aku sempat tidak mengenali integral dan differensial yang kadang-kadang kuberfikir apa ini yang membuat aku yang lain lahir. Yang telah mengusirku dari dapur gubukku untuk memasak sehari-hari. Untuk membuat menu keluarga kecil yang masih compang-camping. Angka-angka itu juga yang sering menjadi kambing hitam telah membuat selat yang begitu panjang antara aku dan suamiku. Hingga untuk bertemu kami mesti kelelahan.

Hingga angka-angka itu juga yang telah menjauhkan mantra itu untuk ku dengar lagi. Hingga “aku” yang lain tumbuh menjelma raksasa yang menguasi ruang kamar dan ragaku. Aku belum tahu senjata apa yang harus kupakai untuk membunuhnya, tapi aku tidak dapat hidup tanpanya ketika malam menjelang atau hujan menderas.

Aku harus rindu mantra-mantra itu terucap lagi. Tak apa aku tersesat, toh pasti dengannya aku tahu jalan pulang.