Sabtu, 26 April 2014

Kelelawar #3

Kenang-kenanglah
Bahwa kita sering cinta sendiri
Lalu seratus kelelawar menyerangmu
Kau tangkap satu, dan kau sembunyikan di kantong baju - lagi

Lalu Kau bawa ia melintasi temaram bulan
Bercerita tentang lamunan para penyair
Satu, dua, tiga
Dia mengerdipkan mata

Setelah itu ia mulai mengantuk
Kau bangunkan dia dan kau seduhkan lagi -seperti biasanya - kopi
Lalu kau mulai bercerita tentang pengelana
Satu, dua, tiga
Dia mengerdipkan mata

Bibirmu mulai letih berbicara
Dan akhirnya kalian diam, hitam
Masih dibawah temaram bulan

Ah.. dia bosan
Sekarang dia yang mengajak kau jalan-jalan dan menyeduhkan - untukmu - kopi

Di malam remang ia katakan dengan gembira
"Aku juga cinta para penyair, dan para pengelana."
Mereka yang menuju mimpi, tetapi entah kemana

Jumat, 25 April 2014

Kita adalah kepingan hati yang tercecer
Yang tidak mungkin berharap tuan menemukan bagian yang telah hilang
Kepingan yang tidak pernah menyatu
Karena ia telah berlabuh

Kita adalah kepingan hati yang sendiri
Yang membaca sajak-sajak dari pujangga yang kesepian, cinta yang kandas dan puisi yang karam

Atau mungkin kita adalah sekeping hati yang sekarat
Lalu meminum anggur biru yang memabukkan
Bagaimanakah kita bisa selamat
Sedang kekasih melambai-lambai mengajak kita pulang

Kamis, 24 April 2014

It's what i say as a freedom. When i can fly like bird in the air. There are a light in my heart, and i could sing my song.

It's what i say as flower. When the color could wears us, and the scent make me smile.

it's a bit of a rush. Because it's talking about time. You and me.

So, it's the true light when i can dance on you.

Rabu, 23 April 2014

Sajak untuk anak

Aku menasehatimu sebagai anak yang beribu dan berayah. Seringlah kau dengar nasehat ini.

Usah risau ketika ayahmu berlayar. Ibumu akan menjagamu dengan baik dan benar. Usah risau ketika sampannya mulai melaju, samudera yang selalu biru adalah sahabatnya.

Lalu kau akan diajar Ibu untuk merapal doa-doa keselamatan, agar ikan-ikan masuk ke jaring-jaring para nelayan. Dan doa-doa itu akan merapal doa untukmu dan ibumu, agar benar tak risau hati kalian berdua.

Ayah berlayar tak kan lama. Esok fajar pasti akan datang. Bintang-bintang akan berikan peta arah pulang, untuk kembali pada kekasih dan buah hati tersayang.

Kala hujan dan kilat yang bersahutan, hendaklah tetap merapal do'a. Agar kau tak pernah lupa akan kitab-kitab, agar kau tak juga lupa bahwa ada Yang Lebih Berkuasa.

Lalu aku bertanya kepadamu anak, adakah yang kau dengar bagaimana jika ibumu yang berlayar. Adakah ayah mengajarimu merapal do'a-do'a? Adakah ia memberitahumu bahwa bbiru samudera adalah sahabat yang bijak. Dan adakah ia mendendangkan syair untuk memeluk rindumu dan rindunya.

Ibu berlayar tak kan lama. Esok fajar pasti akan datang. Bintang-bintang akan berikan peta arah pulang, untuk kembali pada kekasih dan buah hati tersayang.

Apa kabar anak?

Selasa, 22 April 2014

Negeri Sahbana

Saban hari ketika matahari terik, Cahya merapat duduk disebelah emaknya sambil bergumam seperti menyanyi kecil. Lalu tiba-tiba bertanya pada Emak yang sedang menyisir rambutnya.

" Mak, dengar kah Kau tentang Pangeran Purnama yang beru pulang dari Cina?"

" Iyo, ada apa kau hendak berbincang tentang itu?"

" Ndak, Emak tahu kalau anak lanang Bagindo Rajo tu tampan nian. Kabarnya di Cina ia belajar pengetahuan. Cakap pastinya"

" Cahya, baru kali ini emak mendengar kau cerita tentang pemuda tampan"

" Lan berbudi Mak!"

" Iyo, Emak tahu. Sudah semestinya pangeran sebuah negeri itu berbudi,"

" Mak, aku jumpa ia kemarin. Waktu aku berpantun dengan bocah-bocah dibawah pohon Ringin. "

" Oi.. beruntung nian kau jumpa dia? Apa yang dia cakap dengan Kau?"

" Ndak ada Mak, tapi ia juga pacak berpantun"

" Apa yang Dia pantunkan pada Kau?"

" Mm... tak usahlah Mak tahu."

" Apa Kau bermimpi hendak bersanding dengan pangeran Purnama?"

" Tak boleh kah Mak? "

" Cahya, Kau ni hanya gadis pepantun, tak layak bersanding dengan seorang pangeran. Tak mungkin seorang pangeran nak galak pada gadis pepantun sepertin kau."

" Jangan cakap macam itu lah Mak. Bapak Aku kan mantan panglima perang, pernah dekat dengan Rajo. "

" Oii... Itu dulu. Dan bapak kau sudah bukan panglima perang semenjak tak lagi sependapat dengan Rajo. Bapak kau milih jadi petani dan pepantun di pasar rakyat. "

" Mak, Apalah yang mesti Bapak hendak buat untuk bisa dekat lagi dengan Rajo?"

" Oii... Apalah yang bisa dibuat mantan panglima perang macam Bapak kau? Sudahlah..."

Cahya diam. Dia kembali ke kamar. Ia buka lagi surat dari Pangeran Purnama. Nampaknya ia tak bisa jumpa di bawah pohon Ringin lagi. Cerita Bapak yang dibuang Rajo di pengasingan ini tak nak lagi ia dengar. Sudahlah...

Dan sore ini ia benar tidak datang untuk berpantun dibawah pohon Ringin. Nampak bocah-bocah masih menunggu Cahya yang selama ini selalu datang ketika matahari hendak pulang. Lalu datang Pangeran Purnama dan menanyakan pada bocah-bocah yang sedang bermain.

" Mana gadis pepantun yang biasa disini? "

Lalu bocah lanang paling kecil menjawab:

" Ini mesti karena Kau, matahari hendak tenggelam penuh tapi Putri Cahya tidak juga kunjung datang?"

" Putri Cahya?" Tanya pangeran.

" Ya. Mungkin ia memang tak nak bertemu dengan pemuda macam Kau. Apa kau tidak tahu dia akan dipinang oleh pangeran dari negeri Sahbana?"

" Oii... Rupanya dia akan ada yang meminang?"

" Kau ni apa ndak percaya? Tengok esok hari, dia akan jadi pengantin paling elok yang pernah ada di tanah ini."

" Macam mana dia nak jadi pengantin yang elok, aku ini pangeran. Anak lanang Bagindo Rajo. Aku lah yang mesti jadikan dia pengantin yang elok."

" Oii... Kabarnya Kau sudah belajar di negeri Cino, tapi kau ndak percaya bocah punya cerito."

" Baiklah... Esok kutengok dia. Aku nak lihat dia jadi macam pengantin paling elok yang pernah ada. "

Lalu Pengeran Cahya dan pengawalnya kembali pulang ke kerajaan dengan wajah kecewa. Ia hendak datang esok hari dan akan bertanya mengapa Cahya tak nak temui seorang pangeran tanah ini. Semua yang seorang gadis tawan ada pada dirinya, tak patut gadis biasa macam Cahya menolak undangan seorang Pangeran Purnama.

Cahya memang gadis elok nan menawan. Meski hanya gadis jelata yang menawan hatinya dibawah pohon Ringin.

(Bersambung)


Aku tidak tahu caranya bagaimana aku bisa mencintaimu lagi. Sejak aku berkelana, aku benar-benar hanya menyimpanmu sebagai kepingan hati yang tersimpan di sela-sela buku. Apakah aku terlalu jauh meninggalkanmu hingga aku sendiri hampir lupa bahwa aku pernah mencintaimu?

Kau selalu hebat. Kalau dulu kau kutaklukkan dengan setangkai bunga kertas, saat ini kau melebihi dari apa yang kuharapkan. Kau begitu memukau para pecinta.

Mereka yang sangat setia padamu tahu bagaimana cara pulang. Mereka seperti mengenakan kacamata canggih hingga tidak tergiur dengan para perayu. Tidak seperti aku. Saat berkelana menapaki sebuah negeri yang sangat elok, aku lupa tapi entah itu apa. Disana ada cahaya, rindang pepohonan, mengajakku untuk berteduh dan singgah.

Lalu, apakah kau masih mencitaiku? Masihkah kau menungguku di lembaran buku itu? Yang hampir usang bersama zaman. Atau, kau sudah memiliki kekasih yang baru?

Ku layangkan surat ini kepadamu. Aku ingin pulang.

Minggu, 20 April 2014

Aku tahu, tadi pagi kamu melihat banyak sekali kupu-kupu yang berwarna kuning kecil berterbangan di sebuah hutan yang berpenghuni beberapa penduduk. Dan pemandangan yang sama terakhir kali kau lihat ketika kau masih di sekolah dasar. Kau dengan teman2mu yang nakal itu sering mengintip kupu-kupu yang akan keluar dari kepompongnya. Entah, sebab apa sebenarnya mereka tidak nampak lagi setelah itu. Ah, dan saat itu aku ingat, itu biasanya terjadi di musim penghujan. Hujan biasanya datang di malam hari, tetapi pagi yang cerah kupu-kupu itu selalu berterbangan di area pohon akasia di sepanjang jalan desamu. Bisa jadi, semua kupu-kupu itu baru saja keluar dari kepompongnya.

Dan ibu-ibu biasanya kehilangan anak-anaknya dipagi hari karena bocah2 kecil itu senang menangkap kupu2. Mereka berteriak," awas, nanti ada ulat lho!". Tetapi kalian tidak peduli, tetap saja kalian berlarian mengejar mereka dan mereka pun tidak pernah berkurang jumlahnya.

"Lalu apa?"

Kau tidak tahu? Sekarang kau hidup seperti zombie. Pucat, kulitmu tidak berwarna seperti dulu.

" Ah, kau ada2 saja. Mungkin Kau terpengaruh karena membaca cerpen Sungging Raga barusan."

Baiklah, bisa jadi begitu. Tapi perhatikan, sebenarnya kau tidak butuh mendengarkan siapapun saat ini. Kau tidak perlu jauh2 menyusuri dunia maya hanya untuk menjelma menjadi fiksi. Kau tidak perlu marah ketika orang yang kau cintai merindukanmu dan memintamu segera selesaikan tugas dan menyuruhmu pulang.

" Ah... , kau tahu apa tentang itu semua. Toh dia tidak pernah kesepian, sepi baginya sahabat. bukan aku."

Oh, jadi begini. Buka matamu lebar-lebar. Ingatkah kau ketika kau pernah menjelma menjadi sungai?

" Seperti sungai yang menganak dibawah hutan kupu-kupu itu?"

Tepat sekali.
Kau menderu dari beberapa penjuru mata air, di hulu kau bening karena kau selalu mencintai hujan yang membuatmu semakin memukau. Di tengah kau menebar ikan yang akan dipancing oleh beberapa penduduk. Meski kadang kau marah karena orang-orang "menyampahimu".

"Lanjutkan"

Tujuanmu hanya satu. Kau ingin menuju muara untuk berjumpa dengan laut yang biru.

" Kamu tahu, ketika aku adalah sungai bagi beberapa teman aku bukanlah sahabat yang baik. Ada air mata, ada amarah. Dan memalukan. Aku tidak tahu bagaimana berteman."

Apa itu yang kau takutkan?

"Entah"

Apa kau menyesal?

"Tidak."

Lalu?

"Tidak ada"

Bagiku saat itu kau begitu menakjubkan.

" Haha. Omong kosong!"

Baiklah. kau tahu? Laut telah berubah. Kabarnya ia semakin luas, mereka telah menjadi raja yang telah menelan 239 orang. Ia juga telah meruntuhkan kesombongan manusia yang mengaku cerdas. Ia marah pada beberapa kapal yang tengah berlayar tetapi entah mengapa.

" Sedari dulu laut memang begitu."

Jangan takut. Deru ombaknya masih damai. Birunya akan menghapuskan kepedihanmu. Ini keras, tapi kau akan mengalami beberapa tasa yang akan mengejutkanmu.

"Aku siap dengan kejutan."

Jangan lewatkan hal-hal penting dalam perjalanan, atau ia akan membunuhmu.

"Aku tidak takut."

Kamis, 17 April 2014

I want ask to someone, how we can life happier in fiction. How poor our heart when we have read our citation, what have we wrote. I see, sometimes it make us worse. But, it's make us happy. And sometimes we can say, "Oh, great. it's a life story."

And sometimes i ask to myself, how the writer feel happier when they write all of their story in the fiction. I know, it's what i feel, but i never understand why.

It's more amazing, when we write about love, missing someone, and miss someone. Can you see, and it's more complicated if we write this to be poets. It's really make us happy, but it's not happy poet. So poor isn't it? What poor our heart that time.

Dear, we have life together in our fiction. You, with all of your stories, me, and all of my stories, and us, with all of our stories. How many poets you wrote for me, how many i wrote for you? And that's never enough to say what our feel.

Dear, i want to say thanks. " Every river that we tried to cross" make us to see in the mirror that we are really in the fiction. That we are just a woman and man who life together in our destiny. Come up and see how happy we are. Every day we wake up in the morning with light wears us. Can you feel that?

Dear, may you come back here to write our story together, again. Although it's not happy story, but it's make us happy. I see, often tears streaming down of my face, but it's hard to see your tears streaming down your face.

Dear, can you see that we are really in the fiction? And it's what i say as happy to live with you. So, let's do again. Read all out poets, write down our stories.

Rabu, 16 April 2014


Come up to meet you, tell you I'm sorry
You don't know how lovely you are
I had to find you, tell you I need you
Tell you I'll set you apart

Tell me your secrets and ask me your questions
Oh let's go back to the start
Running in circles, coming in tails
Heads on a science apart

Nobody said it was easy
It's such a shame for us to part
Nobody said it was easy
No one ever said it would be this hard
Oh, take me back to the start.

The Scientist, Coldplay

Sabtu, 12 April 2014

Aku tidak tahu bagaimana tiba-tiba aku merindukanmu, untuk sebuah perbincangan yang seperti dulu kita lakukan. Berdua, bertiga, atau berapapun. Apakah kau tahu bahwa senyummu adalah telaga? Ah, kala itu pun aku tidak tahu.

Apa kabar? Klise. Dan aku tahu kau akan menjawabnya sebagaimana kau menjawab pertanyaanku ini seperti dulu. Dan aku menyesal mengapa kau selalu menjawab begitu.

Didepanmu aku selalu menjadi gadis kecil yang banyak bicara, lalu bermain pasir dan air sisa hujan. Dan seperti biasanya kau hanya tertawa.

Kau tahu? bahwa aku tidak tahu. Hingga kau sadar bahwa aku hanyalah gadis bodoh yang tidak mengerti bahasa cinta, gadis kecil yang sulit dewasa karena terlalu banyak bermain, yang juga tidak segera tumbuh besar karena terlalu banyak makan permen.

Lalu aku sering merasa berdosa atas segala kebodohanku. Lalu mengapa kau tidak mengajariku mengeja, membaca isyaratmu, mendengarkan apa yang benar2 kau ucap?

Kau tahu, bahwa kau benar laki-laki telaga. Yang pernah membawaku menyusur pantai di pulau seberang, bercerita tentang angin dan pasir-pasir yang tidak sebenar putih. Lalu disana kita pernah duduk diatas batu-batu, membaca puisi tentang kapal-kapal yang tidak berdermaga.

Kejarlah, apa yang seharusnya kau kejar. Raih lah, dengan apa yang telah kau upayakan. Biarkan aku menjadi kenangan, kenangan yang merindu perjumpaan yang seperti biasanya.

Kamis, 10 April 2014

Surga dimataku adalah bayangmu dan matahari kita
Meski definisi cinta bagi kita sangatlah sederhana
Meski aku tidak sebenar ifkwqj kala itu, bahkan melatimu
Aku hanya bisa menjelma

Lalu apakah harus menyesali setiap pagi dimana aku tidak menemukan kalian disini?
Bersama letih memungut bayangmu dalam tidur dengan lampu yang selalu menyala?
Hingga kau matikan lamputnya untukku, lagi
Seperti malam-malam kita

Setiap deru detik jam membuat aku semakin hilang
Dan aku kesakitan untuk menjadi apa
Bahkan bayangku di cermin terkoyak-koyak oleh desing peluru yang kuciptakan sendiri
Aku remuk
Tidak berbentuk bahkan tak berbayang lagi kaki, tangan dan segala

Setelah itu kuhirup udara yang ada
Kukumpulkan cahaya yang tersisa
kuteguk air kopi yang mungkin hampir basi
Meski aku hanya berbentuk "mata".
Berharap menemukanmu dan dia untuk menjadi surgaku

Minggu, 06 April 2014

I'm out

Sabtu, 05 April 2014

Pagi
Yang memberi sayap
Lamat-lamat mengajak berdansa lagi
Dengan mu

Lalu,
Ada rindu yang semerbak
Di ruangan ini
Mengajakku pulang
Padamu

Kamis, 03 April 2014

Waktu sekolah, aku punya mimpi. Namanya juga mimpi. Kalau mimpi itu ibarat bunga tidur, mimpi yang ini memang di buat-buat.

Awal senang dengan sekolah aku jatuh cinta dengan fisika. Tapi di kelas 3 smp aku pindah hati ke matematika. Hm... Mimpi itu adalah ....

Tapi sekarang, ini ada tapinya. Sekelas Profesorku pun tidak ada tu (atau mungkin tidak tahu) teorema mr. .... Padahal nih, dia nih profesor statistik paling keren di ugm. ugm bro..

Kalau di ingat-ingat mimpi itu apa, tinggal selangkah lagi. Tapi, lagi-lagi ada tapinya, mesti banyak kompromi. Dan yang paling penting adalah, aku tidak sepintar yang aku pikirkan dulu. Hehehe... parah!

Terus maumu apa? Ga tahu.

Sementara jadi angin saja. Berhembus ringan hendak kemana Yang Maha Kuasa membawa. Cita tetaplah cita. Tapi aku sendiri tidak ingn membunuh hidupku hanya untuk sebuah citu - itu.

Hidup itu pendek. Cuma numpang lewat, sriittt. Gitu.

Tapi kalau mau menikmati hidup duniamah memang bukan tempatnya. Pengennya hiduptu barokah, kudu nanem ikhlas, usaha mah di maksimalkan. Tapi aku sendiri ga mau tuh mesti "ngeden!". Kok jadi ky orang tua saya ini. Hihi...



Aku buka hari ini seperti hari-hari kemarin. AKu tidak ingin tertinggal berzikir bersama alam yang hebat ini. Aku tidak ingin ketinggalan bagaimana siang masuk kedalam malam dan juga sebaliknya. Tidak ingin tertinggal bagaimana bumi berotasi dengan sangat cepatnya. 1.670 km/jam. JUga kecepetannya ketika ia mengelilingi matahari. 108.000km/jam. Dan ternyata matahari bersama milkyway ini juga bergerak hebat, 720 ribu km/jam. Ini baru "wow".

Dan seperti biasa, menyeduh kopi bercreamer yang manis, dan meminumnya sekali habis. Ini kebiasaan baru kalau sedang butuh energi, ide. Tapi seperti candu, so force kalau habis minum kopi. Tapi it's ok, kata Bapak minum kopi itu sehat. Tapi saya kurang suka yang rasa ori, lebih suka yang ada rasa aneh2nya gitu. Padahal suami saja tidak berani minum kopi, ga' bisa tidur katanya. Haha. kita mah bisa-bisa aja.

Dengan minum kopi pagi ini saya punya maksud lain. Saya ingin mengajak alpha, beta, damai lagi. setelah mereka kuterlantarkan beberapa hari. Yah, egois. Gimana dong, kalau sedang hilang mood kan memang begitu. Tapi sekarang mood mesti lah dibangun, dengan minum kopi salah satu caranya.

Hm... dengan tv masih lah sedikit kmrn main2, tapi ga semabuk kemarinnnya. Dengan fb juga, alhamdulillah masih buka tapi bisa kok prioritas untuk apa. Nah.. yang cerpen tuh ga memang ga diprogram untuk ditahan, seru banget sih. movie ada lah dikit2.

Kalau udah gini kita ga tahu sebenarnya mau kita apa. Gini salah, gitu salah. Duh.. ky anak gadis lagi aku ini. Galau, ih.. ga lah yau.

Sarapan dengan beberapa cerpen saja. habis itu cabut.

Rabu, 02 April 2014

Ku coba menyepun bayangmu diantara sketsa kenangan yang berlarian di belantara benakku.

Kugenggam utuh kelopak bunga wajahmu dalam balutan rindu yang mulai bertunas

14:42:55
020414
Ku akui, aku masih berusaha mengumpulkan sisa bayanganmu di ruangan ini. Ruang dimana aku terpenjara untuk urusan yang aku tidak tahu kapan mampu aku selesaikan dengan baik, pada sisa-sisa keberanian ini.

Bayanganmu berkumpul pada satu titik, mawar putih yang belum juga layu siang ini. Mawar yang malang, yang kau tidak punya bayangan akan memberikannya pada wanita yang memang memintanya. haha. Tapi apapun itu terima kasih.

Malangnya dirimu, bersanding dengan wanita yang memiliki banyak semut dikepalanya. Yang sering menyesatkanmu dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting. Ah.. Aku sendiri sering terjebak dengan sentimentilku ini. Dan aku akan enang ketika kau selalu bilang " Ah... biasa saja." Dan aku akan tersenyum kalah, menyerah.

Sebentar lagi senja tiba. Dan aku pasti akan semakin tercekik disini. Mungkin yang bisa kulakukan hanya lari. Tapi ketika ku kembali aku tidak tahu apakah aku bisa menutup mataku tanpamu disini.

Semoga hanya aku yang tersiksa atas kondisi ini. Doakan aku bisa menikmatinya sebagaimana kau bisa menikmati bahagia dan deritamu.

Jumat, 28 Maret 2014

Bgus sekali penggalan cerpen Savitri ini.

"Ia memilih untuk percaya ada yang lebih tinggi dan bisa menggariskan jalan hidup. Lebih tinggi dari seorang pria yang dianugerahi kepekaan dan ketajaman pikiran untuk menuangkan garis alam dalam peta bagi orang lain, namun tidak bisa menemukan jalan pulangnya sendiri."

mantra

Aku telah membuka hari ini seperti hari-hari kemarin. Ritual pagi yang kulakoni kudahului dengan malam yang sendiri. Ah, apa maksudnya. Nostalgia masa sekolah yang sangat Berjaya. Entah Berjaya karena aku sering memecahkan kode-kode "morse" atau karena sesuatu yang aku tidak pernah tahu ada apa dibalik angka dan variabel-variabel lucu itu.

Merasa bersyukur aku selamat dari banyak dusta di dunia. Hingga usia dewasa mengantarkan aku pada zaman ini. Zaman edan.

Aku semakin takut dengan kesendirianku, yang ternyata aku tidak sendiri. Ada aku yang lain. Yang sering membuat orang senang, atau diri sendiri senang, tapi tidak mampu membuat kesendirianku menjadi senang. Ah, apa pula itu senang.

Hingga akhirnya aku putuskan untuk membuat dunia sendiri di kamar ini. Mungkin berdua, bertiga dengan aku yang lain. Kalau kekasihku datang, aku berikan “aku “ yang paling baik, meski ia telah mengenal “aku “ yang lain.

Pernah kekasihkan tersesat atas sederetan pertanyaan”ku” yang bodoh. Satu pertanyaan di awal dia mampu menjawab, pertanyaan kedua dia jawab, entah pertanyaan keberapa saat itu ia sungguh tak lagi menjawab. “Ah, apa-apaan sih,” katanya. Dan “aku” tersenyum puas.

Aku merasa sehat hari ini, tapi ada “aku” yang tidak sehat. Lalu ku seduh segelas kopi siang ini, berharap “ia” akan membaik. Tapi tidak, “ia” semakin gila.

Tapi ketika bersama anakku, aku tidak menjadi siapa-siapa. Aku adalah aku. Utuh. Mungkin karena dia selalu mengucapkan mantra, “ibu!”, dengan kuat. Sampai aku ingat bahwa aku harus rindu, aku harus rindu jikalau sedang tidur maka dia akan meneriakkan mantra itu lagi, ‘Ibu!’. Lalu aku akan selalu menjadi aku, meski sangat sangat lelah.

Bersamanya aku tidak pernah tersesat. Kalau pun tersesat maka aku akan tahu jalan pulangnya.
Sedang “aku” yang lain saat ini mulai menjelma menjadi bayang-bayang hitam, yang sering membawaku terbang ke alam liar, membuat aku yang selalu duduk di meja belajar ini benar-benar tersesat.

Aku sempat tidak mengenali integral dan differensial yang kadang-kadang kuberfikir apa ini yang membuat aku yang lain lahir. Yang telah mengusirku dari dapur gubukku untuk memasak sehari-hari. Untuk membuat menu keluarga kecil yang masih compang-camping. Angka-angka itu juga yang sering menjadi kambing hitam telah membuat selat yang begitu panjang antara aku dan suamiku. Hingga untuk bertemu kami mesti kelelahan.

Hingga angka-angka itu juga yang telah menjauhkan mantra itu untuk ku dengar lagi. Hingga “aku” yang lain tumbuh menjelma raksasa yang menguasi ruang kamar dan ragaku. Aku belum tahu senjata apa yang harus kupakai untuk membunuhnya, tapi aku tidak dapat hidup tanpanya ketika malam menjelang atau hujan menderas.

Aku harus rindu mantra-mantra itu terucap lagi. Tak apa aku tersesat, toh pasti dengannya aku tahu jalan pulang.

Rabu, 26 Maret 2014

Membaca cerpen "Taman Pohon Ibu" karya Benny Arnas telah membawaku pulang beberapa ke tempat kelahiran. Tanah yang bercorak siger itu telah menyirap seluruh ingatan di masa pertumbuhanku. Aku rindu dengan tapis yang pernah kubuat di sekolah. Sering ketika berkunjung di tempat elit di pulau Jawa, aku menemukan pucuk rebung dengan beberapa ekor gajah didalamnya. Cantik sekali.

Sangat ingat sekali ketika aku memandang teman yang mengenakan pakaian adat kami, mereka adalah pasangan paling elok dari pada pasangan yang mengenakan baju adat provinsi lain. Bahkan ada lintas khayal, misal menikah nanti aku nak pakai pakaian siger dengan pakaian putih dan kain tenun pengantin putrinya, suamiku nak pakai sarung tenun bertapis dengan keris disebelah kirinya. wa... keblinger deh.

Aku juga kangen dengan sambel sruwit buatan ibuku. Meski ikannya ikan gabus. Huh.. Ndak pernah nemu ikan gabus di sini. Atau minimal pindang patin yang berkuah sangat gurih, yang menjadi maknaan favoriteku dan suami. Patin segar pun sulit ditemui.

Di sini kebanyakan ayam, petok-petok... Ayam goreng, ayam bakar, ayam kremes, ayam tulang lunak, rica ayam, ayam kampus (ups!), dan ayam-ayam lainnya.. Tapi ga papa, sementara ada ikan bakar nila yang memang enak.

Nyecaghow...

Seperti komentar guru pembimbingku, dulu.

Selasa, 25 Maret 2014

senja 2

Meski lelah dan lelah entah dengan pekerjaannya atau dengna dirinya sendiri Lena nampak gontai melangkah dengan tas ransel super besar di punggungnya. Rendra, laki-laki kenamaan yang disanjung bulan itu dengan tegap berjalan di belakang gadisnya. Selalu waspada, waspada menjaga waktu untuk keberangkatan kereta mereka.

Rendra:"Disini dulu, Aku akan menukar kode tiket kita."
Lena :" hm......." Mengangguk.

Gadis ini kembali sibuk dengan tas ransel besar. Ia membuka-buka apakah ia telah membawa semua sajaknya untuk kepindahan mereka berdua di tempat yang baru. Terlalu berat, dan sangat banyak untuk ditanggung.

" Apa yang kau cari?". Suara Rendra tiba-tiba mengagetkannya.
" Tidak, ku pikir aku telah membawa semuanya. Tapi aku memang tidak mampu." Jawab Lena

Rendra menggenggam tangan gadisnya dengan kuat, dan memandang udara yang kosong disekeliling stasiun pemberangkatan mereka.
Rendra: "Tidak apa."

Keduanya diam sejenak. Entah, sebenarnya mereka membicarakan apa.

Rendra :" Biarkan yang lain tetap pada tempatnya. jangan kau ambil dengan paksa. Sakit."
Lena :" Terlambat. Tiba-tiba saja bangunan impianku roboh, bangkainya menerobos lorong waktu yang aku tidak tahu ada apa disana."

Rendra :" Ada aku"
Lena: “Kau?”. Lena memotong. Memandang sinis. “ Mengerti pun tidak. “

Rendra :” Lalu apa artinya kita bersama? Jika kau terus mengundang masa lalumu. Mengundang bayang laki-laki senja itu untuk selalu bertahta dalam hatimu.”
Lena :” Jangan kau teruskan!”

Ada air mata yang mengalir di pelupuknya. Rendra kebingunan. ‘Apakah aku sudah menyakitinya?’, batin Rendra. Lau ia memeluk gadisnya yang semakin sesunggukan. Lena pun pasrah.

Dan Rendra tiba-tiba saja menjadi sangat bodoh.
“ Apa perlu aku mengantarkanmu kembali padanya?”
“ Apa!”. Lena tersentak dan bangkit dari pelukan Rendra.
“ Kau memang gila! Kau tidak mungkin melepasku dan dia tidak mungkin menerima bunga yang sudah layu dan menjadi sampah!” Lena marah, tetapi tidak. Lagi-lagi dia menangis.

Rendra. “ AKu tidak membawakanmu bahagia.”
Lena :” Aku tidak mencari bahagia.”

Hening...

Hening...

Rendra: “ Maka demi Tuhan, berhentilah menangis. Atau aku semakin tersiksa dengan isakanmu itu. Aku sungguh tidak mampu menjadi apa yang engkau inginkan. Dan aku bukan Candra yang mempu menghiasi puisi-puismu dengan bunga. “

Tangis Lena semakin menjadi. Dia sudah lelah menyalahkan dirinya sendiri. Entah berapa air mata yang mesti jatuh untuk membayar semuanya. Tidak ada.

Tragis, beginikah cara mereka dipertemukan?

Lalu keduanya diam. Hanya semilir udara yang menghempas wajah-wajah yang dirundung sendu itu.

Rendra :” Kau satu-satunya wanitaku. Yang sudi memungutku dari gelimang limbah dunia. “
“Kau?...” Lena mengusap air matanya.
“ Ya. Inilah aku. Aku memohon kepadamu, tetaplah denganku. Atau mungkin aku akan berbalik arah dan meninggalkan semua bayang-bayang kita.”

Rendra mengenggam erat gadisnya. Matanya memohon.
“ Kenapa kau baru mengatakannya.?” Tanya lena.
“ Karena aku tidak memiliki waktu untuk mengucapkan cinta. Terlalu mahal yang harus kubayar, dan aku tidak mampu.” Jawab Rendra.

Lalu keduanya kembali diam. Mungkin sibuk dengan hati masing-masing. Bahkan bertanya sebenarnya apa yang terjadi selama ini.

“ Tapi takdir tidak pernah salah Lena. Tidak ada tempat untuk kita pulang ke masa lalu. Tetap berangkatlah denganku. Aku berjanji akan menjagamu.”

Lena semakin erat menggenggam jemari Rendra. Dan tubuhnya terlanjur jatuh dalam pelukan laki-laki itu. Lalu ia menangis, menangis sejadi-jadinya. Beradu dengan bising Logawa yang datang dari Barat.

“ Apakah kita jadi berangkat Lena?” Tanya Rendra ragu.
“ Kau bodoh. Kau rela meninggalkan gadis tanpa nyali ini sendiri?” Jawab Lena sambil tersenyum.

Lalu Rendra semakin erat memeluk gadisnya. Meraih punggung dan mengajak masuk ke dalam kereta. Ia bawakan tas ransel besar yang berisi sajak dari masa lalu. Karena ia sadar, itulah warna gadisnya yang sesungguhnya.

Lalu kereta tua itu berangkat ke timur. Meninggalkan Jogja dengan senjanya. Senja yang sebentar lagi akan ditenggelamkan oleh bulan ...
Harus memutuskan untuk "pisah ranjang" ini.
Siapa saja?
1. TV ok!
2. Facebook ok!
3. Movie ok!
4. Poets no!
5. Cerpen no!

mari kita ukur konsistensi parameter kita. Kemudian carilah matrik informasinya.

Senin, 24 Maret 2014

Senja(mu)

Senja kala itu akan habis. Burung dan anak-anak ayam telah pulang ke sarang induknya. Ini senja yang kesekian kali bagi Lena. Yah, Lena yang telah ditemukan senja ditiap matahari pulang.
“Tahukah kau. Aku sangat merindukannya.” Lena bergumam sendiri. Mungkin hanya senja yang mendengarnya.
Sudah lama rupanya Lena menunggu. Entah, apakah karena ia datang lebih awal dari waktu yang ditentukan. Ah, bukan itu. Andai saja waktu berhenti di satu titik, dia tidak akan pergi meninggalkan titik itu untuk Candra.
“ Kau sudah lama menungguku?”.
Sapaan itu membuat Lena kaget sekaligus senang. Pemilik suara itu telah ia nantikan, sejak pertemuan pertama yang tidak pernah terjadi.
“Mungkin memang ini takdirku, menunggumu.” Jawab Lena. Senja benar-benar hampir habis. Biasanya Lena akan segera pulang. Tapi tidak kali ini. Karena sosk yang diharapkan telah datang menemuinya.
“Jangan sedih, hanya kita yang hidup disini. “ Mata mereka bertemu. Nampak bersinar-sinar dikeduanya. Mungkin lebih bersinar dari senja yang memang akan segera ditenggelamkan malam.
Laki-laki itu duduk disebelah lena. Lalu memandang sendu senja mereka. Begitupun Lena.
“ Kau tahu, bahwa senja itu akan datang lagi esok.” Chandra membuka pembicaraan.
“ Kau bicara apa. Tidak kau tanya berapa senja yang kuhabiskan untuk sekedar menunggumu? .” Lena seperti marah. Tetapi tidak, ia bangga telah menuggu. Baginya itulah yang bisa dilakukannya bahwa ia sangat mengharapkan kedatangan Candra.
“Lena, jawab pertanyaanku. Senja itu akan datang lagi esok?”. Kali ini Candra memandang kosong di ujung barat. Semakin indah, ditambah hijau sawah yang mulai ditutup gelap.
“ Entahlah. Tapi aku akan sendiri disini. Lagi.” Timpal Lena. Ah, dia pun paham. Mungkin ia telah salah menjawab pertanyaan Candra.
“ Kau bohong, usai pertemuan kita ini aku tidak akan pernah kembali. Aku..”
“ Itulah mengapa kau tidak pernah datang menemuiku.” Lena memotong. “Bahwa sebenarnya kau tidak akan pernah datang hanya untuk menemuiku. Apakah ini maumu?! Datang dan kemudian mengucapkan selamat tinggal!”
Kali ini Lena menangis sekaligus marah. Tangisan dan amarah yang mungkin telah lama ingin ia sampaikan pada laki-laki disebelahnya.
Candra tak mampu menjawab. Akhirnya mereka diam. Lalu senja benar-benar menghilang. Anginpun dingin. Sedingin dua insan yang masih duduk terpaku, yang mungkin masih akan menanti senja esok hari. Tiba-tiba Candra ingin sekali memeluk gadisnya. Gadis kesekian yang ia cintai namun mungkin tak kan pernah ia dapatkan. Tapi ia tidak mampu. Dingin telah membuatnya beku.
“ Rendra akan membawaku esok.” Suara Lena serak memecah sunyi. “ Tidak kah kau ingin mengucapkan selamat tinggal atau mengucapkan ‘semoga engkau bahagia Lena…’ ”. Kali ini ada air mata yang jatuh di pipi. Candra sudah tahu itu. Tetapi kalimat yang diucapkan Lena telah membuatnya hatinya teriris-iris.
“ Untuk apa? Toh kita tidak pernah bersua. Selama ini kita hanya hidup didalam senja.” Candra kali ini menyerah. Dan kali ini ia benar-benar ingin memeluk gadisnya. Namun lagi, dingin telah benar-benar membuatnya tak bergerak. Ia tatap wajah Lena yang semakin basah. Kulitnya memancar cahaya bulan. Yah, bulan yang telah membuat senja pergi. Bulan yang tidak pernah ada dalam senja mereka.
“ Mungkin memang begini jalan cerita kita. “ Lena memandang wajah Candra. “ Kita memang tidak pernah bertemu bukan?.” Kali ini ia benar-benar memandang mata Candra. “ Bahkan untuk sekedar mengucapkan cinta.”
Tiba-tiba angin bertiup semakin dingin. Semakin dingin dan semakin kencang ditambah dengan hempasan dedahan kering yang tidak pernah dipungut oleh waktu. Sedangkan Lena tiba-tiba menghilang. Bahkan bayangannya pun tak terterpa oleh cahaya bulan. Candra semakin menggigil kedinginan. Hingga akhirnya ia tahu, bahwa kini ia sendiri. Membeku ditempat dimana Lena selalu menunggunya untuk pertemuan yang tidak pernah ada di tiap senja.
Ia semakin menggigil kedinginan. Bercampur marah . Ia mengumpat mengapa Lena telah meniggalkannya sendirian disana. Di tengah malam yang kelam, dingin dan suram. Dan tiba-tiba semua hitam.

***

Sedang diatas Lena telah dibawa oleh Rendra menuju bulan. Tidak menunggu esok hari atau senja selanjutnya. Bahkan Rendra telah berani menggandeng tangannya. Tanpa bertanya apakah benar ‘kau Lena milikku?’ Lena ingin marah. Namun ia tidak punya alasan untuk marah bahkan sekedar untuk menangis. Sejenak ia lupa dengan Candra, laki-laki senja itu.

***

Tiba-tiba Candra terbangun oleh sentuhan seorang gadis. Lena kah? Tapi Lena tidak pernah menyentuhnya. Ah, ternyata benar bukan Lena. “Siapa kau?” Candra bingung. Tapi ia senang, setelah ia tidak mampu bergerak semalam ditambah dengan dingin dan angin yang membabi buta, kali ini ia dapat bergerak. Ia bergerak bangun dari tidur. “Apakah aku mimpi semalam?”. Ah, tidak. Kemarin yang ia temui benarlah Lena, tapi kemana Lena sekarang? Mengapa ia begitu saja hilang tiba-tiba.
“ Siapa kau?”. Candra bertanya lagi.
Gadis didepannya hanya tersenyum lembut. “ Aku Senjamu.”


Minggu, 23 Maret 2014

Rumah maanakah yang lebih lemah dari rumah laba-laba? Itulah sesungguhnya bangunan dunia yang manusia miliki.

Kalau diri ini kembali, mana amal solehnya..

Belum ada. Dunia saja yang dikejar. Sesuai dengan definisinya. Bahwa dunia itu dekat dan maya. Sejatinya tidaklah nyata. Bisa jadi diri ini hanya soso avatar yang dipinjami raga untuk bisa menjelajah dunia, menikmati makanan, menikmati alam dunia, menikmati kasih sayang dunia, menikmati segala hawa nafsu dunia. Rumah, anak, Suami, itu saja? apa yang mau disombongkan? heleuh...

Ilmu, itu juga dunia. Memberhalai akal pikiran yang tidak lebih besar dari tempurungnya. Cih!

Cemburu, kepada pemburu akhirat.

Nda, kita bangun lagi rumah kita. Kau bilang akan membawa cahaya di rumah kita. Biar aku yang merawatnya. Semoga membawa berkah. Berkah di dunia dan akhirat. Nda, dengarkah kau tentang rumah seribu malaikat? aku juga hanya sekedar mendengar.

Bawalah cahaya yang menunjukkan jalan terang ke jannah...

Rabu, 19 Maret 2014

Saya merasa waktu-waktu ini adalah waktu yang berat. Merasa begitu kecil.. Hanya manusia. Sama dengan makhluk lain yang menghuni bumi ini.

bedanya...

i tried my best. But for my teacher it was nothing. And nothing happened.

Hosss.... Well, saya pikir ini semua masih mulai. Baru saja mulai. dan aku terengah-engah mempelajarinya. Kusangka ini akan selesai dalam beberapa waktu. Namun, iya benar2 menantang waktu.

I don't know. if it's not good for me, may Alloh give me the way out. Finally, i must finish what i was began. My other teacher said, "nothing perfect, and your paper never perfect. You can take the suggestion, or leave it" . So, i hope that's good for me. Do it on my way. ...

Selasa, 18 Maret 2014

Cinta
Tak serupa bunga
Yang kuncup, merekah, dan layu

Cinta
Yang mengubahku jadi penyair
Ngilu

Cinta
Sumpah serapah
Dari yang tak rela

Cinta
Ujian yang datang bertubi-tubi
Hebat

Cinta
Grafik time series yang heteroskedastik
ih....

Cinta
Rasa perih
Lagi dan lagi

Cinta
Tak punya alamat
Tak diundang, datang

Cinta
Gemuruh jiwa yang membuat pecundang jadi pejuang

Cinta
Yang membuat tangis bahagia

Cinta
Itu rindu

Cinta
Membuatnya bahagia

Cinta
Membuat arti

Cinta
Ikhlas

Cinta
tetaplah cinta...
Ya Alloh... waktu kok berasa ngebutnya minta ampun. Tersadar di hari ulang tahun teman kuliah.
me: " selamat ya. Semoga tambah berkah. btw sekarang berapa? 22,23?"
teman:"Ha..? Nggak lah mbak...! Aku ni udah 25. "

me;" Heh. Masa' sih! 25 kan aku?", sambil bengong
" Hoa.. Bukan ding!!" meringas meringis...

Rabu, 12 Maret 2014

Belajar bahwa bertemu dengan cinta bukanlah berarti bertemu bahagia. Jika cinta yang terpatri itu karena ibadah adalah membawa segala tetek bengeknya untuk ibadah. Belajar bahwa mencintai berarti ingin melihat bahagianya. Bahagianya adalah bahagia kita.

Mungkin inilah arti semuanya. Ketika kita dipertemukan dengan cara yang hebat. Dan Tuhan kita memberi tugas kepadaku kepadamu untuk saling mengobati satu sama lain.

Nda, bahagiakanlah aku dengan bahagiamu. Dari sinilah aku mengerti bahwa bersamanya kita tidak pernah sia-sia. Kita saja yang masih bodoh untuk memahami mengapa kita dipertemukan.

Nda, kalau kau sedih mudahkanlah aku untuk sekedar membuatmu tersenyum.

Kamis, 20 Februari 2014

Pagi

Pagi ini sangat dingin
Mungkin seperti dingin pelukanmu yang lalu
Dingin yang aku berpura-pura hangat ditiap malam, pagi dan siang

Pagi ini cahaya
Cahaya usai gelap yang hanya berteman kunang-kunang kecil kita

Pagi ini, apakah aku rindu?
Rindu yang mungkin aku berpura-pura ada di setiap sajak yang kutulis di kota itu

Pagi ini, selayang cahaya mulai merambat rumah kita
Rumah yang kemarin pucat karena mungkin kita tak mengerti warna, tak memahami cinta

Pagi ini, adalah pagi setelah pagi-pagi yang lain
Pagi yang ku eja cahayanya di langit, ku sentuh embunnya di dahan, dan ku hirup udaranya yang basah

Dan adakah lagi pagi untukku?
Dimana hati ini karam dan ditertawakan waktu

Adakah lagi pagi untukku?
Untuk sekedar bersandar di pelukmu yang selalu dan benar aku rindu...
Meski pelukan yang aku berpura-pura hangat di tiap malam, pagi dan siang.

Minggu, 19 Januari 2014

Kasih, kotaku mulai gelap usai hujan
Entah, aku masih merindukanmu meski baru kemarin kita jumpa
Tatkala waktu tidak mau berdamai, akan aku bawa semua kereta kepadamu
Lalu kita bisa berbincang lg di stasiun tanpa khawatir mereka kan membawaku lagi

Kasih, kotaku mulai gelap
Dan aku mulai takut,
entah karena hitam atau terus menerus merindukanmu

Jumat, 17 Januari 2014

Padamu, Cirahayu

aku selalu tersesat
pada pertanyaan terakhirmu
sebelum kau tutup telepon

“aku melihatmu di cahaya bulan.”

seakan berdesir jemari malam pada pundakku
saat suaramu terbawa oleh
retak jarum jam pukul satu

“kita sudah cukup picisan.” jawabku

lalu kau tertawa kecil di ujung sana
seperti seremonia yang pasti kurindukan lagi
esok atau entah kapan

“coba kau ingat-ingat senja tadi,
adakah yang kau lupakan
sebelum kita berpisah di gerbang depan?
seperti ciuman,
barangkali…”

selalu, aku seperti disusupi pertanyaan
layaknya seorang pejalan malam yang istirah
di tepi pohon yang mengembangkan bunga pertamanya

“entahlah. aku hanya ingat
kita duduk di stasiun Cirahayu,
menggubah kenangan
bersama seratus ribu lempengan senja.
lalu kau nyanyikan lagu-lagu magis
tentang cinta yang sebenarnya
cuma bisa kita khayalkan.”

(entahlah.. aku suka sekali puisi Sungging Raga ini)