Selasa, 22 April 2014

Negeri Sahbana

Saban hari ketika matahari terik, Cahya merapat duduk disebelah emaknya sambil bergumam seperti menyanyi kecil. Lalu tiba-tiba bertanya pada Emak yang sedang menyisir rambutnya.

" Mak, dengar kah Kau tentang Pangeran Purnama yang beru pulang dari Cina?"

" Iyo, ada apa kau hendak berbincang tentang itu?"

" Ndak, Emak tahu kalau anak lanang Bagindo Rajo tu tampan nian. Kabarnya di Cina ia belajar pengetahuan. Cakap pastinya"

" Cahya, baru kali ini emak mendengar kau cerita tentang pemuda tampan"

" Lan berbudi Mak!"

" Iyo, Emak tahu. Sudah semestinya pangeran sebuah negeri itu berbudi,"

" Mak, aku jumpa ia kemarin. Waktu aku berpantun dengan bocah-bocah dibawah pohon Ringin. "

" Oi.. beruntung nian kau jumpa dia? Apa yang dia cakap dengan Kau?"

" Ndak ada Mak, tapi ia juga pacak berpantun"

" Apa yang Dia pantunkan pada Kau?"

" Mm... tak usahlah Mak tahu."

" Apa Kau bermimpi hendak bersanding dengan pangeran Purnama?"

" Tak boleh kah Mak? "

" Cahya, Kau ni hanya gadis pepantun, tak layak bersanding dengan seorang pangeran. Tak mungkin seorang pangeran nak galak pada gadis pepantun sepertin kau."

" Jangan cakap macam itu lah Mak. Bapak Aku kan mantan panglima perang, pernah dekat dengan Rajo. "

" Oii... Itu dulu. Dan bapak kau sudah bukan panglima perang semenjak tak lagi sependapat dengan Rajo. Bapak kau milih jadi petani dan pepantun di pasar rakyat. "

" Mak, Apalah yang mesti Bapak hendak buat untuk bisa dekat lagi dengan Rajo?"

" Oii... Apalah yang bisa dibuat mantan panglima perang macam Bapak kau? Sudahlah..."

Cahya diam. Dia kembali ke kamar. Ia buka lagi surat dari Pangeran Purnama. Nampaknya ia tak bisa jumpa di bawah pohon Ringin lagi. Cerita Bapak yang dibuang Rajo di pengasingan ini tak nak lagi ia dengar. Sudahlah...

Dan sore ini ia benar tidak datang untuk berpantun dibawah pohon Ringin. Nampak bocah-bocah masih menunggu Cahya yang selama ini selalu datang ketika matahari hendak pulang. Lalu datang Pangeran Purnama dan menanyakan pada bocah-bocah yang sedang bermain.

" Mana gadis pepantun yang biasa disini? "

Lalu bocah lanang paling kecil menjawab:

" Ini mesti karena Kau, matahari hendak tenggelam penuh tapi Putri Cahya tidak juga kunjung datang?"

" Putri Cahya?" Tanya pangeran.

" Ya. Mungkin ia memang tak nak bertemu dengan pemuda macam Kau. Apa kau tidak tahu dia akan dipinang oleh pangeran dari negeri Sahbana?"

" Oii... Rupanya dia akan ada yang meminang?"

" Kau ni apa ndak percaya? Tengok esok hari, dia akan jadi pengantin paling elok yang pernah ada di tanah ini."

" Macam mana dia nak jadi pengantin yang elok, aku ini pangeran. Anak lanang Bagindo Rajo. Aku lah yang mesti jadikan dia pengantin yang elok."

" Oii... Kabarnya Kau sudah belajar di negeri Cino, tapi kau ndak percaya bocah punya cerito."

" Baiklah... Esok kutengok dia. Aku nak lihat dia jadi macam pengantin paling elok yang pernah ada. "

Lalu Pengeran Cahya dan pengawalnya kembali pulang ke kerajaan dengan wajah kecewa. Ia hendak datang esok hari dan akan bertanya mengapa Cahya tak nak temui seorang pangeran tanah ini. Semua yang seorang gadis tawan ada pada dirinya, tak patut gadis biasa macam Cahya menolak undangan seorang Pangeran Purnama.

Cahya memang gadis elok nan menawan. Meski hanya gadis jelata yang menawan hatinya dibawah pohon Ringin.

(Bersambung)