Sabtu, 26 April 2014

Kelelawar #3

Kenang-kenanglah
Bahwa kita sering cinta sendiri
Lalu seratus kelelawar menyerangmu
Kau tangkap satu, dan kau sembunyikan di kantong baju - lagi

Lalu Kau bawa ia melintasi temaram bulan
Bercerita tentang lamunan para penyair
Satu, dua, tiga
Dia mengerdipkan mata

Setelah itu ia mulai mengantuk
Kau bangunkan dia dan kau seduhkan lagi -seperti biasanya - kopi
Lalu kau mulai bercerita tentang pengelana
Satu, dua, tiga
Dia mengerdipkan mata

Bibirmu mulai letih berbicara
Dan akhirnya kalian diam, hitam
Masih dibawah temaram bulan

Ah.. dia bosan
Sekarang dia yang mengajak kau jalan-jalan dan menyeduhkan - untukmu - kopi

Di malam remang ia katakan dengan gembira
"Aku juga cinta para penyair, dan para pengelana."
Mereka yang menuju mimpi, tetapi entah kemana

Jumat, 25 April 2014

Kita adalah kepingan hati yang tercecer
Yang tidak mungkin berharap tuan menemukan bagian yang telah hilang
Kepingan yang tidak pernah menyatu
Karena ia telah berlabuh

Kita adalah kepingan hati yang sendiri
Yang membaca sajak-sajak dari pujangga yang kesepian, cinta yang kandas dan puisi yang karam

Atau mungkin kita adalah sekeping hati yang sekarat
Lalu meminum anggur biru yang memabukkan
Bagaimanakah kita bisa selamat
Sedang kekasih melambai-lambai mengajak kita pulang

Kamis, 24 April 2014

It's what i say as a freedom. When i can fly like bird in the air. There are a light in my heart, and i could sing my song.

It's what i say as flower. When the color could wears us, and the scent make me smile.

it's a bit of a rush. Because it's talking about time. You and me.

So, it's the true light when i can dance on you.

Rabu, 23 April 2014

Sajak untuk anak

Aku menasehatimu sebagai anak yang beribu dan berayah. Seringlah kau dengar nasehat ini.

Usah risau ketika ayahmu berlayar. Ibumu akan menjagamu dengan baik dan benar. Usah risau ketika sampannya mulai melaju, samudera yang selalu biru adalah sahabatnya.

Lalu kau akan diajar Ibu untuk merapal doa-doa keselamatan, agar ikan-ikan masuk ke jaring-jaring para nelayan. Dan doa-doa itu akan merapal doa untukmu dan ibumu, agar benar tak risau hati kalian berdua.

Ayah berlayar tak kan lama. Esok fajar pasti akan datang. Bintang-bintang akan berikan peta arah pulang, untuk kembali pada kekasih dan buah hati tersayang.

Kala hujan dan kilat yang bersahutan, hendaklah tetap merapal do'a. Agar kau tak pernah lupa akan kitab-kitab, agar kau tak juga lupa bahwa ada Yang Lebih Berkuasa.

Lalu aku bertanya kepadamu anak, adakah yang kau dengar bagaimana jika ibumu yang berlayar. Adakah ayah mengajarimu merapal do'a-do'a? Adakah ia memberitahumu bahwa bbiru samudera adalah sahabat yang bijak. Dan adakah ia mendendangkan syair untuk memeluk rindumu dan rindunya.

Ibu berlayar tak kan lama. Esok fajar pasti akan datang. Bintang-bintang akan berikan peta arah pulang, untuk kembali pada kekasih dan buah hati tersayang.

Apa kabar anak?

Selasa, 22 April 2014

Negeri Sahbana

Saban hari ketika matahari terik, Cahya merapat duduk disebelah emaknya sambil bergumam seperti menyanyi kecil. Lalu tiba-tiba bertanya pada Emak yang sedang menyisir rambutnya.

" Mak, dengar kah Kau tentang Pangeran Purnama yang beru pulang dari Cina?"

" Iyo, ada apa kau hendak berbincang tentang itu?"

" Ndak, Emak tahu kalau anak lanang Bagindo Rajo tu tampan nian. Kabarnya di Cina ia belajar pengetahuan. Cakap pastinya"

" Cahya, baru kali ini emak mendengar kau cerita tentang pemuda tampan"

" Lan berbudi Mak!"

" Iyo, Emak tahu. Sudah semestinya pangeran sebuah negeri itu berbudi,"

" Mak, aku jumpa ia kemarin. Waktu aku berpantun dengan bocah-bocah dibawah pohon Ringin. "

" Oi.. beruntung nian kau jumpa dia? Apa yang dia cakap dengan Kau?"

" Ndak ada Mak, tapi ia juga pacak berpantun"

" Apa yang Dia pantunkan pada Kau?"

" Mm... tak usahlah Mak tahu."

" Apa Kau bermimpi hendak bersanding dengan pangeran Purnama?"

" Tak boleh kah Mak? "

" Cahya, Kau ni hanya gadis pepantun, tak layak bersanding dengan seorang pangeran. Tak mungkin seorang pangeran nak galak pada gadis pepantun sepertin kau."

" Jangan cakap macam itu lah Mak. Bapak Aku kan mantan panglima perang, pernah dekat dengan Rajo. "

" Oii... Itu dulu. Dan bapak kau sudah bukan panglima perang semenjak tak lagi sependapat dengan Rajo. Bapak kau milih jadi petani dan pepantun di pasar rakyat. "

" Mak, Apalah yang mesti Bapak hendak buat untuk bisa dekat lagi dengan Rajo?"

" Oii... Apalah yang bisa dibuat mantan panglima perang macam Bapak kau? Sudahlah..."

Cahya diam. Dia kembali ke kamar. Ia buka lagi surat dari Pangeran Purnama. Nampaknya ia tak bisa jumpa di bawah pohon Ringin lagi. Cerita Bapak yang dibuang Rajo di pengasingan ini tak nak lagi ia dengar. Sudahlah...

Dan sore ini ia benar tidak datang untuk berpantun dibawah pohon Ringin. Nampak bocah-bocah masih menunggu Cahya yang selama ini selalu datang ketika matahari hendak pulang. Lalu datang Pangeran Purnama dan menanyakan pada bocah-bocah yang sedang bermain.

" Mana gadis pepantun yang biasa disini? "

Lalu bocah lanang paling kecil menjawab:

" Ini mesti karena Kau, matahari hendak tenggelam penuh tapi Putri Cahya tidak juga kunjung datang?"

" Putri Cahya?" Tanya pangeran.

" Ya. Mungkin ia memang tak nak bertemu dengan pemuda macam Kau. Apa kau tidak tahu dia akan dipinang oleh pangeran dari negeri Sahbana?"

" Oii... Rupanya dia akan ada yang meminang?"

" Kau ni apa ndak percaya? Tengok esok hari, dia akan jadi pengantin paling elok yang pernah ada di tanah ini."

" Macam mana dia nak jadi pengantin yang elok, aku ini pangeran. Anak lanang Bagindo Rajo. Aku lah yang mesti jadikan dia pengantin yang elok."

" Oii... Kabarnya Kau sudah belajar di negeri Cino, tapi kau ndak percaya bocah punya cerito."

" Baiklah... Esok kutengok dia. Aku nak lihat dia jadi macam pengantin paling elok yang pernah ada. "

Lalu Pengeran Cahya dan pengawalnya kembali pulang ke kerajaan dengan wajah kecewa. Ia hendak datang esok hari dan akan bertanya mengapa Cahya tak nak temui seorang pangeran tanah ini. Semua yang seorang gadis tawan ada pada dirinya, tak patut gadis biasa macam Cahya menolak undangan seorang Pangeran Purnama.

Cahya memang gadis elok nan menawan. Meski hanya gadis jelata yang menawan hatinya dibawah pohon Ringin.

(Bersambung)


Aku tidak tahu caranya bagaimana aku bisa mencintaimu lagi. Sejak aku berkelana, aku benar-benar hanya menyimpanmu sebagai kepingan hati yang tersimpan di sela-sela buku. Apakah aku terlalu jauh meninggalkanmu hingga aku sendiri hampir lupa bahwa aku pernah mencintaimu?

Kau selalu hebat. Kalau dulu kau kutaklukkan dengan setangkai bunga kertas, saat ini kau melebihi dari apa yang kuharapkan. Kau begitu memukau para pecinta.

Mereka yang sangat setia padamu tahu bagaimana cara pulang. Mereka seperti mengenakan kacamata canggih hingga tidak tergiur dengan para perayu. Tidak seperti aku. Saat berkelana menapaki sebuah negeri yang sangat elok, aku lupa tapi entah itu apa. Disana ada cahaya, rindang pepohonan, mengajakku untuk berteduh dan singgah.

Lalu, apakah kau masih mencitaiku? Masihkah kau menungguku di lembaran buku itu? Yang hampir usang bersama zaman. Atau, kau sudah memiliki kekasih yang baru?

Ku layangkan surat ini kepadamu. Aku ingin pulang.

Minggu, 20 April 2014

Aku tahu, tadi pagi kamu melihat banyak sekali kupu-kupu yang berwarna kuning kecil berterbangan di sebuah hutan yang berpenghuni beberapa penduduk. Dan pemandangan yang sama terakhir kali kau lihat ketika kau masih di sekolah dasar. Kau dengan teman2mu yang nakal itu sering mengintip kupu-kupu yang akan keluar dari kepompongnya. Entah, sebab apa sebenarnya mereka tidak nampak lagi setelah itu. Ah, dan saat itu aku ingat, itu biasanya terjadi di musim penghujan. Hujan biasanya datang di malam hari, tetapi pagi yang cerah kupu-kupu itu selalu berterbangan di area pohon akasia di sepanjang jalan desamu. Bisa jadi, semua kupu-kupu itu baru saja keluar dari kepompongnya.

Dan ibu-ibu biasanya kehilangan anak-anaknya dipagi hari karena bocah2 kecil itu senang menangkap kupu2. Mereka berteriak," awas, nanti ada ulat lho!". Tetapi kalian tidak peduli, tetap saja kalian berlarian mengejar mereka dan mereka pun tidak pernah berkurang jumlahnya.

"Lalu apa?"

Kau tidak tahu? Sekarang kau hidup seperti zombie. Pucat, kulitmu tidak berwarna seperti dulu.

" Ah, kau ada2 saja. Mungkin Kau terpengaruh karena membaca cerpen Sungging Raga barusan."

Baiklah, bisa jadi begitu. Tapi perhatikan, sebenarnya kau tidak butuh mendengarkan siapapun saat ini. Kau tidak perlu jauh2 menyusuri dunia maya hanya untuk menjelma menjadi fiksi. Kau tidak perlu marah ketika orang yang kau cintai merindukanmu dan memintamu segera selesaikan tugas dan menyuruhmu pulang.

" Ah... , kau tahu apa tentang itu semua. Toh dia tidak pernah kesepian, sepi baginya sahabat. bukan aku."

Oh, jadi begini. Buka matamu lebar-lebar. Ingatkah kau ketika kau pernah menjelma menjadi sungai?

" Seperti sungai yang menganak dibawah hutan kupu-kupu itu?"

Tepat sekali.
Kau menderu dari beberapa penjuru mata air, di hulu kau bening karena kau selalu mencintai hujan yang membuatmu semakin memukau. Di tengah kau menebar ikan yang akan dipancing oleh beberapa penduduk. Meski kadang kau marah karena orang-orang "menyampahimu".

"Lanjutkan"

Tujuanmu hanya satu. Kau ingin menuju muara untuk berjumpa dengan laut yang biru.

" Kamu tahu, ketika aku adalah sungai bagi beberapa teman aku bukanlah sahabat yang baik. Ada air mata, ada amarah. Dan memalukan. Aku tidak tahu bagaimana berteman."

Apa itu yang kau takutkan?

"Entah"

Apa kau menyesal?

"Tidak."

Lalu?

"Tidak ada"

Bagiku saat itu kau begitu menakjubkan.

" Haha. Omong kosong!"

Baiklah. kau tahu? Laut telah berubah. Kabarnya ia semakin luas, mereka telah menjadi raja yang telah menelan 239 orang. Ia juga telah meruntuhkan kesombongan manusia yang mengaku cerdas. Ia marah pada beberapa kapal yang tengah berlayar tetapi entah mengapa.

" Sedari dulu laut memang begitu."

Jangan takut. Deru ombaknya masih damai. Birunya akan menghapuskan kepedihanmu. Ini keras, tapi kau akan mengalami beberapa tasa yang akan mengejutkanmu.

"Aku siap dengan kejutan."

Jangan lewatkan hal-hal penting dalam perjalanan, atau ia akan membunuhmu.

"Aku tidak takut."